Terapi Humanistik

Terapi-terapi humanistik-eksistensial lebih memusatkan perhatian pada apa yang dialami pasien pada masa sekarang dan bukan pada masa lampau. Tetapi, ada juga kesamaan antara terapi psikodinamik dan terapi humanistik-eksistensial, yakni keduanya menekankan bahwa peristiwa dan pengalaman masa lampau dapat memengaruhi tingkah laku dan perasaan individu sekarang, dan keduanya jug aberusaha memperluas pemahaman diri dan kesadaran diri pasien (dalam Semiun, 2006).

Terapi humanistik-eksistensial adalah terapi yang sesuai dalam memberikan bantuan kepada klien. Teori ini mencakup pengakuan eksistensialisme terhadap kekacauan, keniscayaan, keputusasaan manusia dalam dunianya (dalam Corey, 1995).

Menurut Winkel (1987), terapi humanistik-eksistensial adalah konseling yang menekankan implikasi dan falsafah hidup dalam menghayati makna kehidupan manusia di bumi ini. Konseling humanistik-eksistensial berfokus pada situasi kehidupan manusia di alam semesta, yang mencakup tanggung jawab pribadi, kecemasan sebagai unsur dasar dalam kehidupan batin. Usaha untuk menemukan makna diri kehidupan manusia, keberadaan dalam komunikasi dengan manusia lain, kematian serta kecenderungan untuk mengembangkan dirinya semaksimal mungkin.

 

Tujuan Terapi Humanistik

Menurut Corey (1995) terapi humanistik-eksistensial bertujuan agar klien merasakan keberadaan dirinya secara otentik dan menjadi sadar atas keberadaan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya. Terdapat tiga karakteristik dari keberadaan otentik, menyadari sepenuhnya keadaan sekarang, memilih bagaimana hidup pada saat sekarang, dan memikul tanggung jawab untuk memilh. Pada dasarnya terapi humanistik adalah untuk meluaskan kesadaran diri klien, serta meningkatkan kesanggupan pilihannya yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya.

 

Ciri-ciri Terapi Humanistik

Adapun ciri-ciri terapi humanistik-eksistensial menurut Misiak & Sexton (2005) adalah sebagai berikut:

  1. Eksistensialisme bukanlah suatu aliran melainkan suatu gerakan yang memusatkan penyelidikan terhadap manusia sebagai pribadi individual dan nyata dalam dunia ini.
  2. Dalil-dalil yang melandasi
  3. Setiap manusia adalah pribadi yang unik
  4. Manusia sebagai pribadi yang tidak bisa dimengerti dalam kerangka fungsi dan unsur pembentuknya
  5. Bekerja semata-mata dalam kerangka kerja stimulus respon
  6. Berusaha melengkapi, bukan menyingkirkan atau mengganti orientasi yang ada dalam psikologi
  7. Sasaran eksistensial adalah mengembangkan konsep yang komprehensif tentang manusia dan memahami manusia dalam keseluruhan realitas eksistensialnya
  8. Tema-temanya adalah hubungan antar manusia, kebebasan, dan tanggung jawab

 

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditemukan beberapa kelebihan dan kekurangan terapi humanistik, diantaranya:

Kelebihan Terapi Humanistik

  1. Membentuk kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
  2. Klien dibuat untuk berinisiatif dalam memilih suatu pilihan dan tanggung jawab.
  3. Konselor menerima dan memahami jalan pikiran kliennya.
  4. Mengedapankan hal yang bernuansa demokratis, partisipatif-dialogis, dan humanis.

Kekurangan Terapi Humanistik

  1. Proses terapi kecil keberhasilannya jika tidak ada dukungan dari lingkungan sekitar.
  2. Sulit diterapkan dalam konteks yang lebih praktis.
  3. Terapi humanistik tidak bisa diuji dengan mudah.
  4. Konsep dalam humanistik, misalnya orang yang telah berhasil pasti mengaktualisasikan dirinya, hal tersebut masih buran dan subjektif.
  5. Pembiasan terhadap nilai individualistik.

 

Sumber:

Corey, G. (1995). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: PT. Eresku.

Winkel, W. S. (1987). Bimbingan dan praktek konseling dan psikoterapi. Jakarta: PT. Gramedia.

Misiak, H. & Sexton, V. S. (2005). Psikologi fenomenologi, eksistensial dan humanistic. Bandung: Refika Aditama.

Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Modul bimbingan dan konseling PLPG kuota 2008. Surabaya: Unesa.

Semiun, Y. (2006). Kesehatan mental 3. Jakarta: Kanisius.

Teknik-teknik Terapi Psikoanalisis

Pada postingan sebelumnya sudah dijabarkan mengenai pengertian, tujuan, serta kelebihan dan kekurangan terapi psikoanalisis. Dalam terapi psikoanalisis ada beberapa teknik yang digunakan, yaitu:

Asosiasi Bebas

Dalam teknik ini klien diminta untuk duduk santai atau tidur lalu menceritakan semua pengalaman yang terlintas dalam benaknya baik yang teratur maupun yang tidak, sepele atau penting, logis atau tidak logis, relevan atau tidak, semuanya harus diungkapkan. Asosiasi-asosiasi yang diucapkan itu kemudian ditafsirkan sebagai pengungkapan tersamar pengalaman-pengalaman yang direpres.

Tidak diketahui dengan tepat kapan Feud menemukan teknik asosiasi bebas. Namun, teknik ini berkembang secara berangsur-angsur antara tahun 1892-1896 dengan menyaring teknik hipnosis dan sugesti disertai dengan menekan dan menanyai pasien. Isyarat adanya asosiasi bebas telah disinggung pada tahun 1889 pada salah satu kasus yang ditanganin oleh Freud yaitu kasus Emmy von N. Jones (dalam, Semiun 2006) mengemukakan suatu kejadian historis dimana Freud menekan dan menanyai Elisabeth von R., dan ia mencela Freud karena mengganggu arus pikirannya. Freud dengan rendah hati menerima apa yang disampaikan Elisabeth von R. Setelah itu metode asosiasi bebas digunakan seterusnya karena menjadi metode yang memuaskan sebab memberikan kemungkinan pada pikiran-pikiran pasien yang tidak terkendali untuk memasuki situasi perawatan.

 

Analisis Mimpi

Freud memandang mimpi sebagai jalan utama menuju ke alam tak sadar karena isi mimpi ditentukan oleh keinginan-keinginan yang direpres. Keinginan-keinginan itu muncul lagi dalam bentuk simbol sebagai jalan menuju pemuasan.

Berawal dari ketidakpuasan Freud terhadap metode terapeutik konvensional yaitu, perangsangan listrik, hidroterapi, pijat dan sebagainya, kemudian Freud beralih menggunakan hipnosis untuk tujuan katarsis. Pendekatan terapeutiknya adalah menghipnosis pasien dan menyuruhnya berbicara tentang asal mula dari setiap simtomnya. Ia menanyakan apa yang menakutkan pasien ketika peristiwa itu terjadi, dan sebagainya. Pasien menjawab dengan mengemukakan serangkaian ingatan yang sering dibarengi oleh afek yang hebat. Pada akhir sesi tertentu, Freud mengemukakan bahwa pasien melupakan ingatan-ingatan menggelisahkan yang telah muncul.

Pada tahun 1892, Freud menyadari bahwa kemampuannya untuk menghipnosis pasien sangat terbatas, dan ia harus menghadapi pilihan, yakni membuang perawatan dengan metode katarsis atau tetap memakainya walaupun pasien tidak mencapai keadaan somnambulistik. Freud memilih pendekatan kedua, dan untuk membenarkan pendekatan ini ia ingat akan Bernheim yang telah memperlihatkan bahwa pasien-pasien dapat dibuat untuk mengingat peristiwa yang telah dilupakan dengan menggunakan teknik sugesti walaupun pasien tetap terjaga.

Freud tetap menggunakan asumsi bahwa pasien-pasiennya mengetahui segala sesuatu yang bermakna patogenik dan tugas analis adalah  meminta  mereka untuk menyampaikannya. Ia meminta pasiennya berbaring, menutup mata, dan berkonsentrasi. Pada saat tertentu, ia akan menekan dahi mereka dan menegaskan bahwa ingatan-ingatan akan muncul. Elisabeth von R. Adalah pasien pertama yang dirawat Freud dengan sugesti. Pada tahun 1896, Freud membuang hipnosis dan tidak jelas kapan ia tidak lagi menggunakan sugesti sebagai sarana terapeutiknya yang utama. Kemudian di tahun yang sama Freud menyelesaikan karyanya yang sangat penting, yakni The Interpretation of Dreams, meskipun tidak dipublikasikan sebelum tahun 1900. Tampaknya masuk akal bila dikatakan bahwa kemampuan untuk memahami struktur dan arti mimpi telah meningkatkan keterampilannya dalam interpretasi. Akibatnya, Freud semakin sadar pada produksi bahan pasien yang dilakukan secara spontan. Ia dapat menggunakan interpretasi-interpretasi untuk sampai pada ingatan yang direpresikan.

 

Penafsiran atau Interpretasi

Penafsiran merupakan prosedur dasar di dalam menganalisis asosiasi bebas, mimpi-mimpi, resitensi dan transferensi. Caranya dengan tindakan-tindakan terapis untuk menyatakan, menerangkan dan mengajarkan klien makna-makna tingkah laku apa yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resistensi dan hubungan terapeutik itu sendiri.

Fungsi penafsiran adalah mendorong ego untuk mengasimilasi bahan-bahan baru dan mempercepat proses pengungkapan alam bawah sadar secara lebih lanjut. Penafsiran yang diberikan oleh terapis menyebabkan adanya pemahaman dan tidak terhalanginya alam bawah sadar pada diri klien.

 

Analisis Resistensi

Resistensi adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi, klien dapat menunjukkan ketidaksediaan untuk menghubungkan pikiran, perasaan dan pengalaman tertentu. Freud memandang bahwa resistensi sebagai dinamika tak sadar yang digunakan oleh klien sebagai pertahanan terhadap kecemasan yang tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas dorongan atau perasaan yang direpress tersebut. Dalam tingkat tertentu, resistensi itu ada dari awal sampai akhir perawatan. Resistensi mempertahankan status quo neurosis pasien. Resistensi menentang analis, pekerjaan analitik, dan ego rasional pasien. Resistensi adalah suatu konsep operasional, bukan sesuatu yang baru diciptakan analis. Situasi analitik menjadi arena di mana resistensi-resistensi itu mengungkapkan dirinya.

Resistensi merupakan pengulangan semua operasi defensive yang telah digunakan pasien dalam kehidupan masa lampaunya. Semua variasi gejala psikis mungkin digunakan untuk tujuan resistensi dan resistensi itu beroperasi melalui ego pasien. Meskipun beberapa aspek dari suatu resistensi mungkin sadar, namun suatu bagian yang penting diadakan oleh ego tak sadar.

Ciri terapi psikoanalisis adalah menganalisis resistensi dengan teliti dan sistematis, sedangkan tugas psikoanalisis tidak lain adalah mengungkapkan bagaimana pasien menentang, apa yang ditentang, dan mengapa ia menentang. Penyebab langsung dari resistensi adalah selalu menghindari suatu efek yang menyakitkan, seperti kecemasan, rasa bersalah, atau malu. Di balik motif ini akan ditemukan suatu impuls instingtual yang telah memicu efek yang menyakitkan itu. Pada akhirnya orang akan menemukan bahwa penyebabnya adalah ketakutan terhadap suatu keadaan traumatic yang coba dihindari oleh resistensi.

Ada banyak cara mengklasifikasikan resistensi. Cara praktis yang sangat penting ialah membedakan resistensi egosyntonic dan ego-alien. Apabila seorang pasien merasa bahwa suatu resistensi asing baginya, maka ia siap mengerjakannya secara analitik. Bila resistensi itu adalah ego-syntonic, ia mungkin menyangkal adanya, meremehkan maknanya, atau merasionalisasikannya. Salah satu langkah awal yang sangat penting dalam menganalisis suatu resistensi adalah memasukkannya ke dalam resistensi ego-alien pasien. Segera setelah ini dicapai, pasien akan membentuk suatu aliansi kerja dengan analisi. Ia akan mengidentifikasikan dirinya untuk sementara dan secara parsial dengan analis karena ia rela mengerjakan resistensi-resistensi itu secara analitik.

Bentuk-bentuk psikoterapi lain berusaha menyingkirkan atau mengatasi resistensi-resistensi dengan sugesti, menggunakan obat, atau memanfaatkan hubungan transferensi. Dalam terapi-terapi, yang disebut covering up atau supportive therapies, terapis berusaha memperkuat resistensi-resistensi. Ini mungkin perlu bagi pasien-pasien yang mengalami keadaan psikotik. Hanya dalam psikoanalisis terapis berusaha menemukan penyebab, tujuan, cara dan sejarah resistensi-resistensi tersebut.

 

Analisis Transferensi

Resistensi dan transferensi merupakan dua hal inti dalam terapi psikoanalisis. Transference dalam arti sebenarnya adalah suatu bentuk ingatan dari kejadian-kejadian yang telah dialami dan yang diulang kembali dalam keadaan sekarang atau yang akan datang (Gunarsa, 2001). Analisis transferensi terjadi kalau dalam pertemuan terapi terungkap adanya dispalcement dalam diri pasien. Hal itu terjadi kalau pasien mengalihkan sasaran perasaan cinta atau bencinya kepada terapis yang menanganinya. Transferensi itu menunjukkan kebutuhan pasien untuk mengekspresikan kebutuhannya. Semua ini berlangsung secara tidak sadar, terapis sering jadi sasaran atau pengganti. Di sini terapis berusaha untuk menjelaskan perasaan-perasaan yang sedang dialami atau yang diekspresikannya pada terapis, sehingga pasien memiliki satu pemahaman yang lengkap mengenai kesulitan yang sedang dialami.

Situasi transferensi penting untuk psikoanalisis. Perasaan transferensi diperoleh terapis dan hanya dipindahkan kepadanya dari pengalaman pasien sebelumnya, biasanya pengalaman dengan orang tuanya. Dengan kata lain, perasaan pasien terhadap analis adalah sama dengan perasaan sebelumnya terhadap salah satu atau kedua orang tua. Sejauh perasaan ini memanifestasikan dirinya sebagai perhatian atau cinta (transferensi positif), maka transferensi tidak mengganggu proses perawatan, bahkan menjadi sekutu yang berpengaruh terhadap proses terapeutik. Transferensi positif memungkinkan pasien untuk menghidupkan kembali pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak dalam iklim perawatan analitik yang tidak mengancam. Akan tetapi, transferensi negative dalam bentuk permusuhan harus diketahui terapis dan menjelaskan kepada pasien supaya ia dapat mengatasi setiap resistensi terhadap perawatan.

Yang paling disuka yaitu teknik analisis mimpi, karena analisis mimpi merupakan teknik yang mengungkap keinginan-keinginan yang direpres oleh individu. Sehingga keingana-keinginan tersebut bisa terungkap.

 

 

Sumber

Semiun, Y. (2006). Teori kepribadian dan terapi psikoanalitik freud. Jakarta: Kanisius.

 

Gunarsa, Prof. Dr. Singgih D. (2002). Konseling dan terapi. Jakarta: Gunung Mulia.

 

 

Terapi Psikoanalisis

Teknik psikoanalitik tidak ditemukan dengan tiba-tiba, tetapi berkembang secara perlahan-lahan ketika Freud berusaha menemukan suatu cara untuk membantu secara efektif pasien-pasiennya yang mengalami neurosis.

Tujuan utama terapi psikoanalitik adalah untuk mengungkapkan ingatan-ingatan yang direpresikan. Freud (dalam Semiun, 2006) berpendapat bahwa “terapi kami bekerja dengan mengubah apa yang tak sadar menjadi sadar dan terapi bekerja hanya sejauh berada dalam keadaan untuk menghasilkan perubahan itu”. Semiun (2006) juga mengutip perkataan Freud yaitu, “memperkuat ego, membuatnya lebih independen dari superego, memperlebar medan perseptualnya dan memperluas organisasinya sehingga ia dapat mengambil bagian-bagian yang segar dari id. Di mana id berada, di situ ego akan berada.”

Terapi psikoanalisis dikembangkan Freud untuk menjelaskan personality dan perilaku terkait dengan keinginan bawah sadar dan konflik. Personaliti terdiri dari id (yang mengarahkan individu menuju kenyamanan), ego (yang menengahi antara keinginan internal dan realita) dan super ego (dikembangkan dari standar moral dan sosial yang ditanamkan oleh orang tua). Pada psikoterapi pasien duduk di sofa dan dapat membicarakan berbagai hal yang muncul di pikirannya. Fenomena transfer (transference), di mana pasien mentransfer perasaannya mengenai individu lain pada kehidupan awalnya kepada analis, serupa dengan praktik regresi pada hypnosis.

Terapi bicara yang diciptakan Freud membutuhkan sedikitnya 100 hingga 300 jam dalam memunculkan keefektifannya. Terapi bicaranya selanjutnya berkembang menjadi psikoanalisis, dan mengubah sejarah dunia psikologi di Eropa. Psikoanalisa dari Freud menjadi tren di Eropa sehingga tidak ada metode lain yang digunakan. Kondisi ini menyebabkan hypnosis tidak lagi berkembang secara pesat. Pasien-pasien yang lebih dianjurkan untuk mendapatkan terapi ini adalah pasien yang mengalami gangguan neurotic dan gangguan kepribadian.

Kini, psikoterapi singkat telah diteliti sebagai suatu cara untuk mempengaruhi problem pasien, pada saat yang bersamaan juga membatasi, baik jumlah pertemuan (12-25 atau lebih) maupun jumlah topic yang dibicarakan. Biasanya, satu konflik atau masalah interpersonal adalah topic yang dipilih untuk terapi dan dieksplorasi lebih dalam, pada umumnya dengan perspektif psikodinamik. Hasil-hasil yang telah didapatkan terdahulu tampaknya menjanjikan.

 

Kekurangan terapi psikoanalisis

Berdasarkan kritik yang ditujukan kepada Freud, disebutkan bahwa terdapat kekurang dalam prosedur-prosedur empiris yang digunakan Freud untuk mengukuhkan hipotesisnya. Dikemukakan bahwa Freud melakukan observasi dalam keadaan yang tidak terkontrol. Freud mengakui bahwa ia tidak menyimpan catatan harfiah (verbatim) mengenai apa yang dikatakan dan dilakukannya sendiri beserta pasiennya selama masa perawatan, tetapi ia bekerja menurut catatan-catatan yang dibuatnya beberapa jam kemudian. Catatan yang dibuat Freud dianggap tidak sepenuhnya valid, karena sangat mungkin catatan-catatan tersebut mengandung berbagai bentuk distorsi dan emisi. Asumsi Freud bahwa bahan yang penting akan diingat, sedangkan yang tidak penting akan dilupakan tidak terbukti, dan tampaknya memang susah dibuktikan.

Hook (dalam Semiun, 2006) menyebutkan bahwa keengganan Freud untuk mengikuti kelaziman memberikan laporan ilmiah lengkap tentang datanya menimbulkan banyak keraguan tentang status ilmiah psikoanalisis. Keraguan tersebut dikarenakan validitas dari teori psikoanalitik tidak bisa benar-benar dibuktikan.

Dalam terapi psikoanalisis, tidak semua ingatan lama dapat atau harus disadari. Perawatan tidak efektif dengan psikosis atau penyakit konstitusional, dibandingkan dengan neurosis-neurosis, seperti fobia, histeria, dan obsesi. Pasien yang telah sembuh mungkin kemudian mengembangkan neurosis lain. Freud (dalam Semiun, 2006) menyatakan bahwa psikoanalisis harus digunakan bersama dengan terapi lain, jadi tidak bisa dijadikan terapi tunggal. Ketika individu sadar dengan penyakitnya akan menjadi sulit untuk diajak bekerja sama dengan terapis. Penderita umumnya tidak rileks dan tidak mengungkapkan problematikanya secara terbuka hingga sulit dipahami fase peralihannya dan juga sulit untuk merekonstruksi kejiwaanya. Jumlah waktu yang dibutuhkan untuk melakukan terapi psikoanalisis juga termasuk lama, yaitu sekitar 100-300 jam dan keefektifannya belum bisa dipastikan walaupun sudah memakan waktu sebanyak itu.

 

Kelebihan terapi psikoanalisis

Kelebihan dari terapi psikoanalisis adalah jika individu sadar dengan penyakitnya, ada kecenderungan munculnya motivasi bagi ego dan daya konasi. Neurosis tidak menghalangi penderitanya untuk bisa memotivasi keinginannya agar ia mampu menghadapi penyakitnya tersebut dan kembali pada perilaku normalnya. Berdasarkan prosedur yang dilakukan saat terapi, kelebihan lain dari terapi ini adalah membuat klien mengetahui masalah apa yang tidak disadari selama ini karena ingatan yang direpres tersebut dikeluarkan.

Sumber

Naisaban, L. (2004). Para psikolog terkemuka dunia: riwayat hidup, pokok pikiran, dan karya. Jakarta: Grasindo.
Gunarsa, Prof. Dr. Singgih D. (2002). Konseling dan terapi. Jakarta: Gunung Mulia.
Taufiq, M. I. (2006). Panduan lengkap dan praktis psikologi islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Tomb, D. A. (2004). Buku saku psikiatri. Jakarta: EGC.

 

Sikap Kerja & Kepuasan Kerja (Lanj.)

Hubungan Pelaksanaan Kerja dan Kepuasan Kerja

Hubungan antara pelaksanaan kerja dan kepuasan kerja sudah pasti menjadi hal yang sangat penting. Cara seorang karyawan dalam menyelesaikan pekerjaannya, sangat dipengaruhi oleh lingkungan kerja dan hal tersebut akan memengaruhi kepuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan tersebut. Selain dipengaruhi oleh faktor luar, faktor dari dalam diri seorang karyawan juga sangat berpengaruh. Motivasi yang dimiliki oleh seorang karyawan dalam mengerjakan pekerjaannya haruslah tinggi. Sehingga karyawan tersebut dapat mempertahankan produktivitasnya dan dapat bekerja kepada sebuah perusahaan dalam waktu yang lama.

Kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi, karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis, dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan yang seperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja yang rendah, cepat lelah dan bosan, emosi tidak stabil, sering absen dan melakukan kesibukan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Sedangkan karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja biasanya mempunyai catatan kehadiran dan perputaran kerja yang lebih baik, kurang aktif dalam kegiatan serikat karyawan, dan kadang-kadang berprestasi bekerja lebih baik daripada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja. Oleh karena itu kepuasan kerja mempunyai arti penting baik bagi karyawan maupun perusahaan, terutama karena menciptakan keadaan positif di dalam lingkungan kerja perusahaan.

 

Mencegah dan Mengatasi Ketidakpuasan Kerja

Hal terpenting untuk mencegah dan mengatasi ketidakpuasan kerja adalah menjaga semua faktor yang mendukung kepuasan kerja agar tidak hilang. Misalnya menjaga suasana lingkungan kerja tetap kondusif, menjaga kebersihan tempat kerja, menjalin komunikasi atau hubungan yang baik dengan rekan kerja, serta hal lainnya. Pengukuran kepuasan kerja juga dapat membantu pemimpin perusahaan untuk mengetahui apakah pekerjanya merasa puas atau tidak, berdasarkan faktor-faktor yang ada. Sehingga faktor yang menjadi pemicu ketidakpuasan kerja tersebut dapat dievaluasi secepat mungkin.

Sikap Kerja & Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja adalah sikap atau perasaan seseorang terhadap suatu pekerjaan. Berarti kepuasan kerja seseorang tergantung pada bagaimana penilaian (persepsi) individy yang bersangkutan terhadap pekerjaannya. Penilaian tersebut bersifat individual, artinya antara individu yang satu dengan lainnya berbeda.

Teori-teori Kepuasan Kerja

Menurut Dariyo (2008) terdapat tiga teori yang menjelaskan tentang kepuasan kerja, yaitu:

  1. Teori Diskrepansi atau Teori Nilai (Teori Kesenjangan)

Kepuasan kerja seseorang sangat dipengaruhi oleh sejauh mana hitungan antara apa yang diharapkan (das sollen) dan kenyataan yang dirasakannya (das sein). Individu akan merasakan kepuasan dalam bekerja bila tidak ada perbedaan yang berarti antara yang diinginkan dengan hasil yang dirasakan karena batas minimalnya telah terpenuhi dengan baik. Bila ternyata apa yang diperoleh lebih besar daripada yang diharapkan, individu bisa merasakan kepuasan. Akan tetapi, bagi tipe orang yang tergolong moralis yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, kemungkinan justru hal itu tidak menimbulkan kepuasan.

Contoh Jaka, seorang sarjana baru (S-2) lulusan magister manajemen dari sebuah universitas terkenal di Jakarta. Ketika pertama kali ingin bekerja di sebuah perusahaan swasta, ia berharap memperoleh penghasilan sebesar lima juta rupiah (Rp5.000.000) per bulan. Ternyata impian tersebut menjadi kenyataan. Ia diterima pada perusahaan asing yang memberi gaji tujuh juta lima ratus ribu rupiah (Rp7.500.000) untuk bekerja sebagai seorang supervisor bidang sumber daya manusia. Maka, Jaka telah merasakan kepuasan kerja.

  1. Teori Keadilan (Equity Theory)

Kepuasan kerja seseorang sangat dipengaruhi oleh terpenuhi atau tidaknya rasa keadilan yang diterima dalam kenyataan. Perasaan adil atau tidak adil atas situasi yang dihadapi akan diperoleh melalui perbandingan antara dirinya dengan orang lain yang setaraf, sekantor atau di tempat lain. Elemen teori ini meliputi (a) input, (b) output, dan (c) perbandingan antarorang satu dan yang lainnya.

  1. Teori Dua Faktor

Merupakan teori yang menyatakan bahwa kepuasan kerja ditentukan oleh dua faktor, yakni higienis dan motivasi. Teori ini dikemukakan oleh Frederick Herzberg, yang menyimpulkan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan bergantung pada faktor higienis, seperti kondisi tempat kerja, dan faktor motivasi, seperti pengakuan atas pekerjaan yang telah diselesaikan dengan baik. Faktor kebersihan seperti kondisi lingkungan kerja dan kebijakan perusahaan dapat memengaruhi ketidakpuasan pekerja. Di sisi lain, faktor motivator seperti kesempatan untuk berprestasi dan penghargaan dapat memengaruhi kepuasan pekerja.

 

Determinan Sikap Kerja

Sikap kerja dapat dijadikan indikator apakah suatu pekerjaan berjalan lancar atau tidak. Jika sikap kerja dilaksanakan dengan baik, pekerjaan akan berjalan lancar. Jika tidak berarti akan mengalami kesulitan. Tetapi, bukan berarti adanya kesulitan karena tidak dipatuhinya sikap kerja, melainkan ada masalah lain lagi dalam hubungan antara karyawan yang akibatnya sikap kerjanya diabaikan. Sikap kerja mempunyai sisi mental yang mempengaruhi individu dalam memberikan reaksi terhadap stimulus mengenai dirinya diperoleh dari pengalaman dapat merespon stimulus tidaklah sama. Ada yang merespon secara positif dan ada yang merespon secara negative. Karyawan yang memiliki loyalitas tinggi akan memiliki sikap kerja yang positif.

 

Pengukuran Sikap Kerja

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan pada dasarnya secara praktis dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam diri dan dibawa oleh setiap karyawan sejak mulai bekerja di tempat pekerjaannya, Sebagai contoh, karyawan yang sudah lama bekerja memiliki kecenderungan lebih puas dibandingkan dengan karyawan yang belum lama bekerja (Doering et al., 1983) Faktor eksentrinsik menyangkut hal-hal yang berasal dari luar diri karyawan, antara lain kondisi fisik lingkungan kerja, interaksinya dengan karyawan lain, sistem penggajian dan sebagainya.

Faktor-faktor yang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seorang pegawai diantaranya :

  • Isi pekerjaan, penampilan tugas pekerjaan yang aktual dan sebagai kontrol terhadap pekerjaan.
  • Supervise
  • Organisasi dan manajemen
  • Kesempatan untuk maju
  • Gaji dan keuntungan dalam bidang finansial lainnya seperti adanya insentif
  • Rekan kerja
  • Kondisi pekerjaan

Kesimpulan:

Semua orang yang berkontribusi dalam suatu perusahaan harus berusaha bekerja sebaik mungkin, sehingga semua pekerja dapat merasakan kepuasan kerja setiap saat. Gaji yang didapatkan seorang pekerja haruslah sebanding dengan beratnya atau tanggung jawab yang dipegang oleh pekerja tersebut. Selalu menjaga suasana dan kondisi lingkungan kerja juga merupakan hal yang penting karena memengaruhi kepuasan kerja yang dirasakan seorang pekerja. Pengukuran tingkat kepuasan kerja perlu dilakukan secara berkala sehingga perusahaan bisa memantau tingkat kepuasan kerja seluruh pekerjanya dan bisa mengevaluasi setiap kekurang yang ada serta mempertahankan atau meningkatkan hal yang sudah baik.

 

Sumber:

Dariyo, A. (2008). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta: Grasindo.

Soegoto, E. S. (2009). Enterpreneurship menjadi pebisnis ulung. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Robbins, Stephen. P. (2006). Perilaku organisasi, edisi Bahasa Indonesia. Klaten: PT INTAN SEJATI.

Job Enrichment

Definisi

Seorang pegawai yang bekerja pada suatu perusahaan biasanya akan mengalami kenaikan jabatan yang diikuti dengan penambahan tanggung jawab terhadap pekerjaan. Hal tersebut dinamakan job enrichment, berikut beberapa definisi mengenai job enrichment:

Pengayaan Pekerjaan (job enrichment) merupakan penambahan pekerjaan melalui peningkatan kewenangan. Dalam pengayaan pekerjaan, pekerjaan tertentu menjadi lebih besar tanggung jawabnya, biasanya dikaitkan dengan proses perencanaan maupun evaluasi pekerjaan, menurut Dian Wijayanto (2012).

Selain itu, Stphen mengatakan bahwa Job enrichment adalah mengacu pada pengembangan vertikal dari pekerjaan. Penambahan ini meningkatkan sejauh mana pekerja itu mengendalikan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dari kerjanya. Suatu pekerjaan yang diperkaya mengorganisasi tugas-tugas sedemikian sehingga memungkinkan pekerjaan itu untuk melakukan kegiatan lengkap, menigkatkan kebebasan dan ketidak tergantungan karyawan itu, meningkatkan tanggung jawab dan memberikan umpan balik sehingga seorang individu akan mampu menilai dan megoreksi kinerjanya sendiri.

 

Langkah-langkah redesign pekerjaan untuk job enrichment

Begitu banyak pekerjaan sangat membosankan dan monoton dan apa yang dapat dilakukan untuk membuat pekerjaan yang ditawarkan lebih memuaskan, dengan mengurangi biaya perekrutan, meningkatkan retensi staff yang berpengalaman dan memotivasi mereka untuk tampil di tingkat yang tinggi. Salah satu faktor kunci dalam design pengayaan pekerjaan (job enrichment) menurut Stphen P. Robbins (2003), sebagai berikut:

  1. Menggabungkan Tugas

Gabungan berbagai bentuk aktivitas kerja untuk memberikan yang lebih menantang dan kompleks pada tugas pekerjaan. Hal ini memungkinkan pekerja untuk menggunakan berbagai macam keterampilan, variasi tugas yang dapat membuat pekerjaan terasa lebih bermakna dan penting. Hal ini meningkatkan keanekaragaman dan identitas tugas.

  1. Menciptakan Unit Kerja Alami

Salah satu cara memperkaya pekerjaan adalah melalui pembentukan unit kerja yang alami dimana pegawai mendapatkan kepemilikan pekerjaan. Unit kerja berarti bahwa tugas pekerja dilakukan sama, mengartikan dan mengidentifikasi seluruhnya. Kenaikan pekerjaan pada setiap pekerja menunjukkan kemungkinan bahwa pekerja akan meninjau pekerjaannya yang berarti dan penting yang tidak begitu relevan dan membosankan.

  1. Menampilkan Hubungan Pelanggan

Pekerja sangat jarang kontak dengan pengguna produk ataupun jasanya. Jika hubungan tersebut dapat dibangun, komitmen kerja dan motivasi biasanya akan meningkat. Hal ini meningkatkan keanekaragaman otonomi, dan umpan balik bagi karyawan.

  1. Memperluas Pekerjaan Vertikal

Ketika kesenjangan (gap) antara “melakukan” dan “mengontrol” dikurangi “vertical loading” terjadi, khususnya tanggung jawab yang sebelumnya merupakan tanggung jawab manajemen sekarang didelegasikan kepada pegawai sebagai bagian dari pekerjaan mereka. Ketika pekerjaan dibebani secara vertikal, otonomi naik, pekerja merasa tanggung jawab personal dan akuntabilitas untuk outcomes/dampak dari usaha mereka.

  1. Membuka Saluran Feedback

Dengan meningkatkan umpan balik, pekerja tidak hanya belajar bagaimana sebaiknya mereka menyamakan pekerjaannya, tetapi hanya dengan memeperbaiki kinerja mereka, memperburuk atau mengulang pada tingkat yang tetap. Idealnya umpan balik ini menyangkut kinerja yang dapat diterima langsung seperti pekerja melakukan pekerjaannya dan perlu kebiasaan dasar manajemen.

 

Pertimbangan Melakukan Job Enrichment

 Ada lima dimensi inti dari sebuah pekerjaan yang mempengaruhi job enrichment biasanya memberikan kontribusi kepada orang-orang yang menikmati pekerjaan menurut Greenberg dan Baron:

  1. Skill Variety – Meningkatkan jumlah individu keterampilan yang digunakan ketika melakukan pekerjaan.
  2. Task Identity – Mengaktifkan orang untuk melakukan pekerjaan dari awal sampai akhir.
  3. Task Significance – Memberikan pekerjaan yang memiliki dampak langsung terhadap organisasi atau para stakeholder.
  4. Autonomy – Meningkatkan tingkat pengambilan keputusan, dan kebebasan untuk memilih bagaimana dan ketika pekerjaan selesai.
  5. Feedback – Meningkatkan jumlah pengakuan untuk melakukan pekerjaan dengan baik, dan mengkomunikasikan hasil karya orang.

 

Agar perusahaan dapat terus hidup dan bertahan lama, maka pekerja yang bekerja untuk perusahaan tersebut perlu diberikan program redesign pekerjaan seperti job enrichment. Dengan job enrichment, produktivitas pekerja bisa ditingkatkan sehingga pekerja tidak merasa monoton dengan pekerjaannya. Para pemegang kekuasaan perlu cermat dalam melihat siapa saja pekerja yang berpotensi dan perlu mendapatkan program job enrichment.

 

Sumber:

Ivancevich, J. M., Konopaske, R., dan Matteson, M. T. (2007). Perilaku dan manajemen organisasi. Jakarta: Erlangga.

Wijayanto, D. (2012). Psikologi manajemen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.

Robbins, Stephen. P. (2006). Perilaku organisasi, edisi Bahasa Indonesia. Klaten: PT INT AN SEJATI.

 

Motivasi (Lanj.)

Hierarki Kebutuhan Maslow

Inti dari teori Maslow adalah bahwa kebutuhan tersusun dalam suatu hirarki. Kebutuhan di tingkat yang paling rendah adalah kebutuhan fisiologis, dan kebutuhan di tingkat yang paling tinggi adalah kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan tersebut di antarannya adalah:

  1. Fisiologis yaitu, kebutuhan makan, minum, tempat tinggal, dan bebas dari rasa sakit.
  2. Keamanan dan keselamatan yaitu, kebutuhan untuk bebas dari ancaman, diartikan sebagai aman dari peristiwa atau lingkungan yang mengancam.
  3. Kebersamaan, sosial, dan cinta yaitu, kebutuhan akan pertemanan, afiliasi, interaksi, dan cinta.
  4. Harga diri yaitu, kebutuhan akan harga diri dan rasa hormat dari orang lain.
  5. Aktualisasi diri yaitu, kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri secara maksimum menggunakan kemampuan, keterampilan, dan potensi.

Teori Maslow mengasumsikan bahwa orang berusaha memuaskan kebutuhan yang mendasar sebelum mengarahkan perilaku mereka pada pemuasan kebutuhan tingkat yang lebih tinggi. Beberapa hal pokok dalam pemikiran Maslow penting kita ketahui untuk memahami pendekatan hierarki kebutuhan.

Kebutuhan yang sudah terpuaskan akan berhenti memberikan motivasi. Sementara kebutuhan yang tidak terpuaskan dapat menyebabkan rasa frustasi, konflik, dan stres.

 

Kebutuhan yang relevan dengan perilaku dalam organisasi

Dari perspektif manejerial, kebutuhan yang tidak terpuaskan akan berbahaya, karena kebutuhan ini mungkin menyebabkan hasil kinerja yang tidak diinginkan. Maslow mengasumsikan bahwa orang memiliki kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang dan sebagai akibatnya, akan terus berusaha bergerak ke atas dalam hierarki pemenuhan kebutuhan. Jadi semakin berkembangnya kebutuhan seseorang dalam organisasi, diharapkan produktivitas dan kinerja orang tersebut juga akan meningkat. Dalam suatu organisasi. Seseorang juga perlu membangun interaksi sosial yang baik sehingga pemenuhan akan harga dirinya bisa terpenuhi, setelah itu orang tersebut akan termotivasi untuk melakukan aktualisasi diri.

Sumber:

Ivancevich, J. M., Konopaske, R., dan Matteson, M. T. (2007). Perilaku dan manajemen organisasi. Jakarta: Erlangga.

Robbins, S. P. dan Judge, T. A. (2008). Perilaku organisasi, edisi 12. Jakarta: Salemba Empat.

Nursalam, dan Efendi, F. (2008). Pendidikan dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

 

 

 

MOTIVASI (Bag. 2)

TEORI HARAPAN

Teori harapan (expectancy theory) merupakan salah satu teori yang termasuk dalam teori proses motivasi, teori harapan adalah teori yang dikemukakan oleh Victor H. Vroom (dalam Umar, 2005) yaitu seseorang bekerja atau mengerjakan suatu hal untuk merealisasikan tujuan-tujuannya. Teori harapan diperluas oleh Porter dan Lawler.

Siagian (dalam Nursalam dan Efendi, 2008) menjelaskan inti dari teori yang dikemukakan Vrom yaitu, harapan terletak pada seberapa kuatnya kecenderungan seseorang untuk bertindak dengan bergantung pada harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti oleh suatu hasil tertentu dan terdapat daya tarik pada hasil tersebut bagi orang yang bersangkutan. Teori ini didasarkan pada 3 komponen, yaitu:

  1. Harapan, adalah suatu kesempatan yang disediakan dan akan terjadi karena perilaku.
  2. Nilai, merupakan nilai yang diakibatkan oleh perilaku tertentu. Misalnya nilai positif pada peristiwa terpilihnya seseorang karena memang ingin dipilih, nilai negatif bila seseorang kecewa karena sebenarnya tidak ingin dipilih serta acuh-tak-acuh jika bernilai nol.
  3. Pertautan, yaitu besarnya probabilitas; jika bekerja secara efektif apakah akan terpenuhi keinginan dan kebutuhan tertentu yang diharapkannya.

 

Implikasi Praktis

Implikasi praktis dari teori harapan, contoh langsung dalam kehidupan pekerjaan misalnya, Athuura adalah seorang Redaktur Pelaksana pada sebuah majalah ternama di Jakarta. Dalam mengatur pekerjaan bawahannya, Athuura membuat urutan pekerjaan yang harus diselesaikan paling lambat saat tanggal deadline, dengan cara membuat tabel to-do list yang ditempel pada dinding ruangan bawahannya. Jadi bawahan Athuura akan memberi tanda centang pada setiap pekerjaan yang sudah diselesaikan. Hal tersebut Athuura lakukan dengan harapan bahwa semua pekerjaan yang harus dilakukan dapat diatur dan dikerjakan sesuai dengan tanggal yang sudah ditentukan. Terbukti, cara yang Athuura lakukan membawa nilai positif karena bawahan Athuura menjadi lebih tertib dalam mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan mereka. Hal tersebut sangat efektif karena keinginan dan kebutuhan yang diharapkan terpenuhi.

 

TEORI TUJUAN

Dalam teori ini, Edwin Locke mengemukakan kesimpulan bahwa penetapan suatu tujuan tidak hanya berpengaruh terhadap pekerjaan saja, tetapi juga memengaruhi orang tersebut untuk mencari cara yang efektif dalam mengerjakannya, hal tersebut dijabarkan oleh Mangkunegara (dalam, Nursalam dan Efendi, 2008). Kejelasan tujuan yang hendak dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya akan menumbuhkan motivas yang tinggi. Siagian (dalam, Nursalam dan Efendi, 2008) berpendapat bahwa tujuan yang sulit sekalipun apabila ditetapkan sendiri oleh orang yang bersangkutan atau organisasi yang membawahinya akan meningkatkan prestasi, asalkan dapat diterima sebagai tujuan yang pantas dan layak dicapai.

Locke (dalam Ivancevich, Konopaske, dan Matteson, 2007) menyatakan bahwa penetapan tujuan merupakan proses kognitif dari beberapa utilitas praktis. Pandangannya adalah bahwa keinginan dan tujuan individu merupakan determinan perilaku yang utama. Teori penetapan tujuan juga menempatkan penekanan yang spesifik terhadap pentingnya tujuan sadar dalam menjelaskan perilaku yang termotivasi.

 

Implikasi Praktis

Masih dengan Athuura, majalah yang Athuura “pegang” adalah sebuah majalah digital. Kendala yang saat ini dialami adalah belum banyaknya downloader dari aplikasi untuk membaca majalah digital tersebut. Selain itu banyak downloader yang hanya men-dowload­ namun tidak membuka aplikasi tersebut karena saat aplikasi terbuka bahkan menghapusnya, jalannya aplikasi cenderung lambat dan membuat hp lag. Bagian pemrograman membuat revisi dari aplikasi dengan memperbaiki bugs yang muncul. Dengan tujuan, para downloader tidak akan menghapus aplikasi yang sudah didownload dan membuka aplikasi tersebut setiap tanggal terbitnya majalah. Majalah digital sangat bergantung pada jumlah downloader, jadi semakin banyak downloader akan semakin memotivasi pekerja dan meningkatkan keoptimisan pekerja untuk bertahan dalam perusahaan tersebut. Selain itu, dengan aplikasi yang berjalan dengan baik, pembaca akan semakin tertarik untuk mendownload setiap majalah yang terbit, ditambah lagi dengan konten majalah dan tema yang menarik di setiap edisinya.

 

 

Sumber:

Umar, H. (2005). Riset sumber daya manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Nursalam, dan Efendi, F. (2008). Pendidikan dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Ivancevich, J. M., Konopaske, R., dan Matteson, M. T. (2007). Perilaku dan manajemen organisasi. Jakarta: Erlangga.

MOTIVASI

Definisi Motivasi

Dalam menjalani hidup, tentu seseorang membutuhkan motivasi agar bisa melakukan banyak kegiatan dan menumbuhkan minat serta mengembangkan bakat. Motivasi bisa datang dari dalam diri, ataupun dari luar diri. Pastinya, keadaan psikologis seseorang sangat memengaruhi motivasi seseorang dalam melakukan suatu hal. Oleh karena itu, setiap orang perlu me-maintain kondisi psikisnya dengan baik. Tidak hanya yang berkaitan dengan diri sendiri, namun seseorang juga perlu mengondisikan lingkungannya supaya bisa selalu menjaga motivasi seseorang tetap tinggi. Berikut adalah beberapa definisi motivasi dari beberapa tokoh yaitu, Weiner (dalam, Nursalam dan Efendi F., 2008), motivasi didefinisikan sebagai kondisi internal yang membangkitkan kita untuk bertindak, mendorong kita mencapai tujuan tertentu, dan membuat kita tetap tertarik dalam kegiatan tertentu.

Sementara menurut Uno (dalam, Nursalam dan Efendi F., 2008), motivasi dapat diartikan sebagai dorongan internal dan eksternal dalam diri seseorang yang diindikasikan dengan adanya (1) hasrat dan minat untuk melakukan kegiatan, (2) dorongan dan kebutuhan untuk melakukan kegiatan, (3) harapan dan cita-cita, (4) penghargaan dan penghormatan atas diri, (5) lingkungan yang baik, serta (6) kegiatan yang menarik.

Selain itu tokoh lain bernama Makmun (dalam, Nursalam dan Efendi F., 2008) mendefinisikan motivasi yaitu, sebagai suatu kekuatan, tenaga atau daya, atau suatu keadaan yang kompleks dan kesiapsediaan dalam diri individu untuk bergerak ke arah tujuan tertentu, baik disadari maupun tidak disadari.

Berdasarkan pendapat beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah dorongan internal dan eksternal dalam diri seseorang yang membangkitkan minat, untuk mencapai harapan dan cita-cita terhadap tujuan tertentu.

 

Teori Drive-Reinforcement

Dalam teori drive, perilaku didorong ke arah tujuan oleh kondisi yang mendesak (driving state) dalam diri orang atau binatang. Gagasan Freud tentang kepribadian didasarkan pada dorongan seksual dan dorongan agresif bawaan. Bila kondisi dorongan internal itu muncul, individu didesak untuk berperilaku dengan cara yang sedemikian rupa sehingga mengurangi intensitas dari kondisi yang mendesak tersebut. Pada manusia, sekurang-kurangnya, tercapainya pengurangan kondisi terdesak itu merupakan sesuatu menyenangkan dan memuaskan. Agar dorongan tersebut dapat mendorong motivasi, maka dibutuhkan reinforcement yang bisa diaplikasikan secara negatif maupun positif. Dalam reinforcement positif, seseorang diberikan reward atas apa yang telah dilakukan, agar perilaku tersebut dapat dipertahankan dan frekuensinya bisa meningkat. Contohnya, seorang siswa yang berhasil mendapatkan nilai 100 dalam ujiannya, diberi coklat oleh gurunya sebagai hadiah atas usahanya untuk mendapat nilai 100. Sementara, dalam reinforcement negatif, seseorang melakukan suatu hal karena dorongan untuk menghindari hal-hal negatif seperti teguran atau hukuman. Contohnya, seorang karyawan yang mengerjakan suatu laporan dengan sedetil mungkin untuk menghindari teguran dari atasannya. Walaupun dilakukan karena dorongan untuk menghindari hal buruk, namun dengan dorongan tersebut seseorang reinforcement untuk melakukan seuatu hal yang positif menjadi dibutuhkan.

 

Kesimpulan

Dengan dorongan yang diberikan penguatan (reinforcement), motivasi seseorang untuk melakukan suatu kegiatan dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Hal tersebut sangat berguna dan setiap orang pasti mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari tanpa disadari. Bahkan sejak kecil, teori drive-reinforcement sudah diaplikasikan dalam banyak hal. Orang tua biasanya memberi sebuah reward untuk perilaku positif yang dilakukan anaknya. Semakin dewasa, seseorang mulai sadar untuk memiliki motivasi untuk melakukan hal positif agar tidak mendapat teguran atau hukuman atas tanggung jawab atau kewajibannya.

 

Sumber:

Nursalam dan Efendi, F. (2008). Pendidikan dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Basuki, A. H. M. (2008). Psikologi umum. Depok: Universitas Gunadarma.

TEORI-TEORI LEADERSHIP (LANJUTAN)

Modern Choice Approach of Participation

Teori ini merupakan salah satu teori kontingensi yang juga disebut, teori normatif. Teori Vroom & Yetton mengarah kepada pemberian suatu rekomendasi tentang gaya kepemimpinan yang digunakan sesuai dengan kondisi tertentu. Menurut teori ini, gaya kepemimpinan ditentukan oleh permasalahan yang sedang dihadapi sehingga bisa mengambil keputusan yang tepat untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Teori ini dapat digunakan untuk:

  • Membantu mengenali berbagai jenis situasi pemecahan persoalan secara berkelompok (group problem solving situation).
  • Menyarankan gaya-gaya kepemimpinan mana yang dianggap layak untuk setiap situasi. Ada tiga perangkat parameter yang penting yaitu klasifikasi gaya kepemimpinan, kriteria efektivitas keputusan, kriteria penemu kenalan jenis situasi pemecahan persoalan.Decision tree for leadership dari Vroom & Yetton, yaitu:
    1. A-1 : Pemimpin memecahkan persoalan atau mengambil keputusan sendiri dengan menggunakan informasi yang diketahui.
    2. A-2 : Pemimpin memperoleh informasi yang diperlukan bawahan, lalu memutuskan cara pemecahan persoalannya sendiri. Pemimpin dapat atau tidak mengatakan kepada bawahan apa persoalannya sewaktu memperoleh informasi dari mereka. Peran bawahan dalam pengambilan keputusan adalah memberikan informasi yang diperlukan, bukan mengajukan atau memberi alternative pemecahan masalah.
    3. C-1 : Pemimpin memberitahukan persoalan kepada bawahan secara pribadi, memperoleh gagasan dan saran mereka tanpa mengumpulkan mereka dalam satu kelompok. Kemudian pemimpin mengambil keputusan yang mungkin atau tidak mencerminkan pengaruh dari bawahan.
    4. C-2 : Pemimpin memberitahukan persoalan kepada bawahan dengan membentuk satu kelompok. Menghasilkan dan menilai berbagai alternatif pemecahan, serta berusaha mencapai suatu tujuan untuk memecahkan masalah. Pemimpin tidak mencoba untuk mempengaruhi kelompok untuk mengikuti saran pemecahan masalah yang diberikan pemimpin. Pemecahan masalah yang diterapkan berdasarkan keputusan kelompok.

Contingency theory for leadership

Teori ini dikembangkan oleh Fielder, yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif tergantung pada situasi yang dihadapi dan perubahan gaya kepemimpinan bukan merupakan hal yang sulit untuk diterapkan.

Model teori ini menyatakan bahwa keefektifan suatu kelompok tergantung pada:

  • Kualitas hubungan antara pemimpin dengan bawahannya.
  • Sejauh mana pemimpin mengendalikan dan mempengaruhi situasi.

Hal ini dapat dinilai dari kuisioner LPC (Least Prefered Coworker)

  • Jika skor LPC tinggi, maka pemimpin berorientasi pada kualitas hubungan dengan bawahannya.
  • Jika skor LPC rendah, maka pemimpin berorientasi pada tugas.

Hal yang kedua ditentukan oleh tiga variable situasi:

  • Task structure : keadaan tugas yang dihadapi apakah structured task atau unstructured task.
  • Leadership-member relationship : hubungan antara pimpinan dengan bawahan, apakah kuat (saling percaya,saling menghargai) atau lemah.
  • Position power : ukuran actual seorang pemimpin, ada beberapa power, yaitu:
  1. Legimate power : adanya kekuatan legal pemimpin.
  2. Reward power : kekuatan yang berasal imbalan yang diberikan pimpinan.
  3. Coercive power : kekuatan pemimpin dalam memberikan ancaman.
  4. Expert power : kekuatan yang muncul karena keahlian pemimpinnya.
  5. Referent power : kekuatan yang muncul karena bawahan menyukai pimpinannya.
  6. Information power : pemimpin mempunyai informasi yang lebih dari bawahannya.

Path-Goal Theory

Dikembangkan oleh Robert House, dengan formulasi yaitu fungsi motivasi pemimpin terdiri dari peningkatan imbalan pribadi kepada bawahan atas pencapaian tugasnya, membuat jalan yang lebih mudah untuk mendapatkan imbalan tersebut, dengan memberi penjelasan, mengurangi hambatan, dan meningkatan peluang untuk mendapatkan kepuasan pribadi.

Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:

  • Fungsi pertama, adalah member kejelasan alur.
  • Fungsi kedua, adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya.

Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut:

  • Kepemimpinan pengarah (directive leadership)
  • Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)
  • Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)
  • Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)s

Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasi ke dalam model teori path-goal, yaitu:

  1. Karakteristik bawahan, yakni:
  • Letak kendali (locus of control)
  • Kesediaan untuk menerima pengaruh (authoritarianism)
  • Kemampuan (abilities)
  1. Karakteristik lingkungan, yaitu:
  • Struktur tugas
  • Wewenang formal
  • Kelompok kerja

Kesimpulan:

Model teori di atas diaplikasikan sesuai dengan kondisi permasalahan yang timbul, proses pemecahan masalahnya berkaitan dengan kualitas hubungan antara pimpinan dan pengambilan keputusan yang yang telah disepakati.

Sumber:

Miner, J. B. (2006). Organizational behavior 3. Historical origins, theoritical foundations,and the future. New York: M. E. Sharpe.

Wexley; Yukl; 1994, Managemen dan Organisasi, Jakarta: PPM.